Sulsel, Informasi-Terkini.id - Kehadiran PT Freeport Indonesia di wilayah adat suku Amungme sejak terjadi kontrak karya tahun 1967, mengundang banyak persoalan bagi suku Amungme yang mendiami dataran tinggi di Puncak Grasberg maupun suku Kamoro yang mendiami dataran rendah Mimika. Persoalan yang timbul setelah PT.Freeport Indonesia beroperasi adalah pencemaran lingkungan hidup baik mulai dari gunung biji yang di kenal oleh masyarakat adat Amungme sebagai “Nemang Kawi” (Anak Panah Putih), Sungai Wanagong sampai ke dataran rendah milik masyarakat suku Kamoro yaitu sungai Aikwa. Kini ribuan hektar hutan kayu, sagu rusak dan sejumlah habitat sungai menjadi punah, bahkan manusiapun ikut kena dampak, akibat tailing yang di buang ke sungai Aikwa.
Sedangkan dampak sosial-ekonomi dari pembuangan tailing ke sungai Aikwa terhadap kedua suku tersebut maupun suku-suku lain dari Papua, dan Indonesia dapat terlihat dekat dengan mata dimana kota Timika yang dulunya banyak dusun sagu yang memberi makan bagi masyarakat adat Kamoro, dan suku-suku lain dari Papua maupun Indonesia yang tinggal di kota Timika telah rusak. Akibatnya masyarakat tidak bisa mendapatkan sagu sebagai sumber makanan pokok mereka, disamping itu berkembang pesatnya pembangunan yang didukung oleh PT. Freeport Indonesia membuat suku Amungme dan Kamoro menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri. Sementara itu pemukiman mereka juga semakin tersingkir dan menjadi perkampungan kumuh di tengah-tengah kawasan Industri tambang termegah di Asia.Dengan demikian perkembangan tambang ditengah-tengah suku Amungme dan Kamoro ini bukannya mendatangkan kehidupan yang lebih baik melainkan semakin memojokkan mereka menjadi kelompok marginal. Hal ini semakin terdorong oleh semakin besarnya arus urbanisasi ke Timika dari daerah-daerah sekitarnya dan dari pulau lain di Indonesia. Dimana kehidupan homogen dimasa lalu seketika menghadapi tantangan dari luar dengan hadirnya berbagai suku dan bangsa yang masuk wilayah adat suku Amunggme dan Kamoro.
Dampak lain dari kehadiran PT. Freeport Indonesia adalah terjadinya berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai akibat protes masyarakat terhadap PT. Freeport Indonesia yang terkesan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat Adat Suku Amungme dan 6 suku lain yang disebut sebagai pemilik tanah, emas, tembaga, hutan yang kemudian dikuasai oleh pihak perusahaan. Dalam aksi protes, masyarakat selalu berhadapan dengan pihak aparat keamanan (TNI/POLRI), yang bertugas mengamankan Perusahaan, maka terjadilah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kasus pelanggaran HAM di wilayah penambangan berlangsung cukup lama sejak hadirnya PT. Freeport Indonesia hingga kini. Persoalan lain yang paling mendasar bagi masyarakat adat Amungme maupun masyarakat adat Kamoro adalah perlunya pengakuan kepada mereka sebagai Manusia diatas tanah mereka sendiri.
Persoalan martabat manusia harus dihargai oleh siapapun. Kalau martabat suku Amungme dan suku Kamoro dihargai sebagai manusia, maka persolan PT. Freeport harus diselesaikan dengan melibatkan kedua suku tersebut sebagai masyarakat adat pemilik sumber daya alam tambang tersebut.Sudah saatnya Freeport, Pemerintah Indonesia, Masyarakat adat Amungme dan Kamoro mengevaluasi kehadiran PT. Freeport lewat dialog yang komprehensif dan mengambil langkah langkah yang bermartabat demi masa depan suku Aumngme, Kamoro dan masyarakat Papua umumnya.
Freeport telah gagal mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki praktik pengelolaan limbah berbahaya terlepas rentang tahun yang panjang di mana sejumlah temuan menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup tak kunjung menegakkan hukum karena Freeport memiliki pengaruh politik dan keuangan yang kuat pada pemerintah. Begitu kuatnya sampai-sampai proposal Freeport untuk mengelak dari standard baku mutu air sepertinya sedang dipertimbangkan. Pemerintah secara resmi menyatakan bahwa Freeport : Telah lalai dalam pengelolaan limbah batuan, bertanggung jawab atas longsor berulang pada limbah batuan Danau Wanagon yang berujung pada kecelakaan fatal dan keluarnya limbah beracun yang tak terkendali (2000). Hendaknya membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai standar teknis legal untuk bendungan, bukan yang sesuai dengan sistem sekarang yang menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat (2001).Mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing. Perusahaan diminta untuk membangun pipa tailing ke dataran rendah (2001, 2006). Mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, dengan demikian melanggar standar baku mutu air (2004, 2006).Membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah berbahaya, sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan (2006). Tambang Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem sungai Aghawagon-OtomonaAjkwa, meski pembuangan limbah tambang ke sungai telah jelas-jelas dilarang oleh PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Terkait pembuangan limbah ke sungai ini, Freeport mengklaim bahwa “Mutu air yang mengalir melalui sistem pembuangan tailing telah sesuai dengan baik peraturan di Indonesia maupun standar internasional terkait logam berpotensi bahaya”. Padahal sesungguhnya hal ini tidak benar, seperti yang ditunjukkan oleh laporan pemantauan yang dibuat perusahaan sendiri dan disajikan pada pemerintah. Data tersebut memperlihatkan:
Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikrogram per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar si Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L.
Untuk kondisi air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk tembaga larut adalah 8 µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L. Pencemaran Freeport-Rio Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal: kandungan tembaga larut mencapai rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36 µg/L.
Batas legal total padatan tersuspensi (total suspended solids, TSS) dalam air tawar adalah 50 mg/L. Sedangkan tailing yang mencemari sungai-sungai di dataran tinggi memiliki tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh kilometer masuk ke dataran rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di Sungai Ajkwa bagian Bawah mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih jauh ke hilir dari ADA, di Muara Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300 mg/L, 25 kali lipat melampaui batas. Mutu air di perairan hutan bakau di Muara Ajkwa juga 10 kali lipat melampaui batas legal untuk TSS di lingkungan air laut (80 mg/L), dengan TSS rata-rata 900 mg/L. Tembaga yang dihamburkan dan pencemaran: Kandungan tambang di Grasberg yang luas menjamin usia tambang yang panjang, sehingga bagi Freeport, yang paling menguntungkan adalah mengolah bijih dalam jumlah yang sangat besar setiap harinya, dan membuang 14 persen tembaga yang terkandung dalam bijih, yang pada akhirnya tertinggal di tailing yang dibuang ke sungai. Dengan alasan yang sama, sejumlah besar batuan yang mengandung tembaga juga dikeruk dan dibuang tanpa diolah dulu. Alasannya, perusahaan memilih untuk mendapatkan bijih berkualitas tinggi secepat mungkin. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan pada tahun 2040. Secara keseluruhan, Freeport menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tingkat pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang. Padahal, tembaga yang terbuang bisa menjadi sumber penghasilan yang cukup besar bagi Pemda Papua yang menerima royalti untuk setiap unit tembaga olahan. Selain itu tembaga terbuang ini mengakibatkan kerusakan lingkungan serius pada air tanah, sungai, dan muara di hilir. Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage): Kandungan tembaga yang ditambang Freeport terdiri dari logam sulfida (metal sulfides), yang ketika digali, dihancurkan dan terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil, sehingga menghasilkan masalah lingkungan serius yang disebut sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage/ARD). Hampir semua limbah batuan dari tambang Grasberg sejak tahun 1980an sampai 2003 yang berjumlah kira-kira 1.300 juta ton berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke sejumlah tempat di sekitar Grasberg dan menghasilkan ARD dengan tingkat keasaman tinggi mencapai rata-rata pH = 3. Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton (g/t) dan eksperimen menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini akan terbuang (leach) dalam beberapa tahun. Bukti menunjukkan pencemaran ARD dengan tingkat kandungan tembaga sekitar 800 mg/L telah meresap ke air tanah di pegunungan.
Risiko pencemaran ARD juga terjadi di dataran rendah di daerah penumpukan tailing karena Freeport menetapkan rasio kapasitas penetralan asam banding potensi maksimum keasaman yang tak aman, hanya 1,3 : 1, lebih rendah dibanding pratik terbaik industri tambang.Partikel sulfida yang menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah dari partikel kapur yang lebih ringan yang sebenarnya bisa membantu menetralisir asam. Hal ini mengarah pada kondisi ARD yang terlokalisir ADA (Ajkwa Deposition Area).Teknologi yang tak layak: Erosi dari limbah batuan mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah menyebabkan sejumlah kecelakaan, satu fatal. Kestabilan gundukan limbah batuan merupakan problema serius jangka panjang. Situs-situs penting bagi suku Amungme telah hancur olehnya, seperti Danau Wanagon yang sudah lenyap terkubur di bawah tempat pembuangan limbah batuan di Lembah Wanagon. Selain itu, sejumlah danau merah muda, merah dan jingga telah hilang dan padang rumput Carstenz saat ini didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada akhirnya akan menjulang hingga ketinggian 270 meter, dan menutupi daerah seluas 1,35 km2. Tanggul (levees) ADA, yang akan mencapai ketinggian 20 meter pada sejumlah tempat, rawan longsor dan erosi.
Praktik ini masih jauh dari praktik terbaik industri tambang di bidang penanganan tailing. ADA (Daerah Pengendapan Ajkwa) adalah sistem yang rapuh dan berujung terbuka: air tailing meresap ke air tanah, ke sungai yang berdekatan dan ke Danau Kwamki; partikel tailing juga dibawa melalui ADA ke Muara Ajkwa dan Laut Arafura. Pembekapan tanaman: Pengendapan tailing membekap kelompok tanaman subur dengan menyumbat difusi oksigen ke zona akar tanaman, sehingga tanaman mati. Proses ini telah terjadi pada sebagian bagian besar ADA, meninggalkan tegakan mati pohon sagu dan pepohonan lain di daerah terkena dampak. Ini juga jadi ancaman bagi populasi species terancam setempat yang membutuhkan keragaman ekosistem hutan alam untuk bertahan hidup. Selain nilai konservasinya, endapan tailing juga menghancurkan sungai dataran rendah yang tinggi keragaman hayatinya, hutan hujan, dan lahan basah yang sangat vital bagi suku Kamoro untuk berburu, mencari ikan dan berkebun.Tingkat racun tailing dan dampak terhadap perairan: Sebagian besar kehidupan air tawar telah hancur akibat pencemaran dan perusakan habitat sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing. Total Padatan Tersuspensi (TSS) dari tailing secara langsung berbahaya bagi insang dan telur ikan, serta organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar matahari (photosynthetic), dan organisme yang menyaring makanannya (filter feeding). Tembaga menghambat kerja insang ikan. Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan biologis (bioavailability) di daerah terkena dampak operasi Freeport-Rio Tinto menunjukkan bahwa sebagian besar tembaga larut dalam air sungai terserap oleh mahluk hidup dan ditemukan pada tingkat beracun.
Tembaga larut pada kisaran konsentrasi yang ditemukan di Sungai Ajkwa bagian bawah mencapai tingkat racun kronis bagi sebagian besar (30% sampai 75%) organisme air tawar. Uji tingkat racun aktual yang dilakukan CSIRO dan analis Freeport menunjukkan air dan endapan tailing beracun bagi larva udang (Caridina sp), udang sungai dewasa (Macrobrachium rosenbergii), larva ikan minnow tembaga pada tubuhnya sampai 100 kali lipat batas normal, hingga mencapai tingkat luar biasa yaitu 1 gram per kilo. Kajian ERA memperkirakan bahwa burung dan mamalia kecil yang hanya makan hewan tak bertulang belakang di muara mungkin menderita hambatan reproduksi dan menurunnya ketahanan tubuh. Sementara pemangsa yang lebih besar seperti raptor, dengan sendirinya akan kehilangan pasokan mangsa karena burung dan mamalia kecil di muara Ajkwa berkurang.
Gangguan ekologi: Freeport sempat menyatakan bahwa “Muara di hilir daerah pengendapan tailing kami adalah ekosistem yang berfungsi dan beraneka ragam dengan ikan dan udang yang melimpah.” Namun, keberadaan species bergerak (mobile species) seperti ikan dan udang di Muara Ajkwa bukanlah bukti bahwa kehidupan di muara sehat, atau memiliki masa depan yang baik. Kandungan tembaga larut yang ditemukan di perairan bakau dapat mengakibatkan keracunan kronis pada 30 persen – 90 persen organisme air laut. Saat ini jumlah species ikan, kepiting, kerang, dan polychaetes di Muara Ajkwa mengalami penurunan sebesar 35 persen dibanding jumlah pada daerah acuan. ERA memperkirakan 68 persen spesies air di bagian atas muara terancam.
Bagian luar Muara Ajkwa, termasuk daerah pantai Laut Arafura, mengalami penurunan jumlah hewan yang hidup dasar laut (bottom-dwelling animals) sebesar 40% hingga 70%. Sementara jumlah biomass per daerahnya pun hanya separuh dari yang dimiliki muara-muara yang dijadikan acuan. Selain angka-angka ini, perhitungan indeks-indeks teknis dari keanekaragaman hayati memastikan terjadinya gangguan signifikan pada ekologi di Muara Ajkwa.Dampak pada Taman Nasional Lorenz: Taman Nasional Lorenz yang terdaftar sebagai Warisan Dunia wilayahnya mengelilingi daerah konsesi Freeport. Untuk melayani kepentingan tambang, luas taman nasional telah dikurangi. Kawasan Warisan Dunia Lorentz adalah salah satu permata konservasi lingkungan di Indonesia. Kawasan pinus pada situs Warisan Dunia ini terkena dampak air tanah yang sudah tercemar buangan limbah batuan yang mengandung asam dan tembaga dari tailing Freeport-Rio Tinto. Sementara, kawasan pesisir situs Warisan Dunia ini juga terkena dampak pengendapan tailing. Sekitar 250 juta ton tailing dialirkan melalui Muara Ajkwa dan masuk ke Laut Arafura. Pengukuran menunjukkan bahwa jejak tembaga larut dari tailing Freeport telah mencapai 5 sampai 10 kilometer lepas pantai. Tailing terbawa ke laut akibat arus pasang monsoon sepanjang pesisir. Ke depan, tailing mungkin akan membentuk sampai 20 persen sedimentasi di wilayah hutan bakau Taman Nasional Lorentz. ERA menemukan bahwa bakau dan organisme yang hidup di dasar di Lorenz memiliki kenaikan kandungan tembaga, dan tailing diduga menjadi sumbernya, mengingat daerah hulu dalam taman tidak mengalami dampak.
Regenerasi di Daerah Tumpukan Tailing: Tailing tambang pada akhirnya akan meliputi 230 km2 daerah ADA, pada kedalaman hingga 17 meter. Daerah tailing ini kekurangan karbon organik dan gizi kunci lainnya, dengan kapasitas menahan air yang sangat buruk. Sejumlah tes telah menunjukkan bahwa tailing murni takkan mampu mendukung pembibitan maupun pertumbuhan kebanyakan tanaman tanpa asupan pupuk buatan dalam jumlah besar, kompos dan atau pasokan tanah permukaan (topsoil) dari luar daerah. Usaha perusahaan untuk merehabilitasi kawasan tailing yang berukuran kecil dan dangkal saja sudah menuntut sistem irigasi yang rumit dan tidak berkelanjutan karena membutuhkan pasokan air dalam jumlah yang sangat besar.
Kawasan ADA yang luas yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi species semula meski pembuangan tailing berhenti. Spesies asli yang bisa tumbuh kembali di tumpukan tailing tidaklah berguna bagi masyarakat setempat, juga tidak bisa menggantikan keberagaman spesies asli yang dulunya hidup di wilayah rimba asli dan hutan hujan bersungai dalam ADA yang telah rusak.
Transparansi: Freeport beroperasi tanpa tranparansi atau pemantauan peraturan yang layak.Tak ada informasi atau diskusi publik tentang pengelolaan saat ini dan masa depan di tambang. Juga tak ada pembahasan mengenai alternatif pengelolaan limbah dan rencana proses penutupan tambang. Terlepas dari keharusan legal untuk menyediakan akses publik terhadap informasi terkait lingkungan, perusahaan belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk ERA. Freeport juga tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal independen sejak 1999. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan ijin lingkungan. ERA yang dihasilkan meremehkan risiko lingkungan yang penting, gagal memberi pilihan untuk mengurangi dampak pembuangan limbah, serta independensi dari para pengkaji ERA pun patut dipertanyakan. Rekomendasi untuk pemerintah: Segera menegakkan hukum lingkungan hidup nasional. Ini harus dilakukan dengan cara menghentikan operasi Freeport hingga pelanggaran-pelanggaran diperbaiki dan dengan mengadili pelanggaran hukum yang terus menerus terjadi meski sudah diperingatkan berulang kali pada awal 2000an, yaitu: Tembaga larut dan total padatan tersuspensi (TSS) yang mengalir ke Muara Ajkwa tidak boleh melanggar baku mutu air untuk Kelas II berdasar PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage/ARD) harus segera dicegah sebelum memasuki ke air permukaan atau air tanah dan melampaui baku mutu air untuk Kelas II (untuk logam berat dan keasaman) berdasar PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat, dari pada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua infiormasi lingkungan pada masyarakat, sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997).Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkungan sejauh ini.
Membentuk Panel Independen untuk memetakan sejumlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing) dan pengelolaan limbah. Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen untuk mengkaji tiap skenario dari segi social dan teknis secara rinci dan independen. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.(Red)